Wednesday, February 25, 2015

R E M U K

Matahari masih garang tanpa ampun menghajar tanah bumi yang makin renta ini. Tanpa ampun. Buyung menyaruk - nyarukkan kakinya dalam melangkah. Entah kenapa, matahari tidak seteduh cerita - cerita orang tua. Cerita dari orang - orang yang sudah belasan tahun berada dalam cengkrama kawasan itu. Konon, menurut mereka, para pencerita malam, para pembual yang senantiasa taklid mencekik botol minuman keras murahan, para pengigau jalanan yang meramal akhirat, hingga para tukang parkir yang bermahkota uban, mereka selalu bercerita tentang kemakmuran jaman dulu. Dimana matahari tidak sedekat sekarang. Ketika itu matahari masih meneduhkan mata dengan ramah, tidak melotot seperti sekarang. Dimana pasar itu menjadi pertiwi mereka, yang memberi penghidupan yang cukup, tanpa harus beradu otot dan was-was setiap malam. Dimana semuanya kala itu rasanya serba mudah. Dan mereka tidaklah faham mengapa semuanya berubah. Mengapa semua mendadak menjadi sulit. Dan mengapa setiap hari mereka menjumpai kegerahan. Semakin menghimpit paru – paru, menyesakkan dada. Dan pada akhirnya, mereka menyalahkan sang matahari yang melotot itu. Yang membuat semuanya menjadi panas, membawa aura keributan, membawa bibit perselisihan yang tidak kuasa ditahan.

Sampah pasar yang bertebaran hingga aspal, berjumpalitan di terpa angin yang dihembuskan roda – roda mobil yang seenaknya menderu dengan pekik klakson yang menyakitkan. Sampah yang sesekali melekatkan noda di jemari kaki Buyung yang terus melangkah. Rasanya lengkap sudah. Sampah pasar yang menumpuk menebarkan bau kesumatnya, seakan memenuhi atmosfir hingga rongga paru. Semalam hujan melanda, dan bak sampah itu sudah tidak mampu menampung lagi. Sampah yang basah kuyup melelehkan limbah yang bukan main dahsyat baunya. Buyung telah terbiasa dengan itu semua.

Sesekali angkutan kota berwarna hijau itu menyalipnya, beberapa. Mengejek Buyung dengan asap yang mencekik. Seorang bocah dengan gitar bututnya bernyanyi seperti erangan rasa sakit yang pedih tak terkira. Jongkok dengan kaki dekilnya di ambang pintu angkutan kota itu, memakan debu yang beterbangan seperti iblis. Memang deretan kendaraan berwarna hijau itu seakan menjadi tuan tanah disini. Namanya juga terminal bayangan, yang berjajar sedikit tak jauh dari pasar yang bau itu. Arogan sekali, berhenti dengan semaunya, lantas membunyikan klakson dengan membabi-buta di antara teriakan calo yang memekakkan dan menaikkan amarah, seperti memukul – mukul gendang telinga. Buyung seakan terbiasa dengan hal ini. Ya, sudah hampir tiga tahun ini Buyung bercengkrama dengan kondisi seperti ini. Cekat asap knalpot yang memabukkan itu, deru mesin yang meresahkan, bunyi klakson yang meretakkan tengkorak, teriakan calo, ditingkahi pertikaian perebutan penumpang, seakan hal biasa yang setiap saat terjadi. Lazim seperti jarum yang berdetik pada sebuah arloji tua. Sebuah keniscayaan.

Ada beberapa orang yang tengah berbicara gumam di bawah rindang pohon yang meringis. Seorang sudah tertidur dengan posisi jorok. Bertelanjang dada, sehingga perut buncitnya terburai dan sesekali ditaburi lalat yang tidak sungkan mendarat. Di antara akar pohon yang mencuat beberapa botol yang sudah kosong bersembunyi tanpa dosa layaknya pramuria yang menawarkan dagangannya. Sementara di hamparan tanah nampak kartu domino yang sudah tercerai – berai tidak tentu jumlahnya. Menggigit tanah.

Dua orang sisanya, yang satu mengipas-kipaskan topi, yang satu lagi mengukir kayu pohon sekarat dengan pisau lipatnya. Konon, lelaki itu tidak bisa hidup tanpa pisau itu. Mereka berdua bergumam di antara dengkur temannya, entah membicarakan apa. Mungkin semalam, rindang pohon itu menjadi saksi di bawah rembulan dan kelamnya malam. Ada arena peraduan dan pertaruhan disitu. Pertaruhan akan duit yang diperoleh dengan memeras keringat seharian yang bisa hilang dalam sekejap pada malam kelam seperti itu. Pertaruhan akan harga diri ketika semua harta telah lenyap dan tinggal suara erangan marah diantara cemoohan para pemabuk. Pertaruhan akan masa depan yang semakin suram seiring berhamburnya kartu domino. Dan rembulan memejamkan mata ketika botol itu mulai terlontar dan terbanting di jalan, menjadi kepingan yang berkilatan laksana kristal.

Sebuah mobil hijau itu menepi mendadak lantas menghentikan rodanya menyisakan debu yang mengepul. Seringkali memang mereka berbuat seperti itu. Mungkin sudah menjadi tradisi. Membuat Buyung harus menepi ke arah sungai, yang demikian malasnya mengalirkan air yang busuk dan hitam itu, yang mengalirkan segala hal, mencerminkan buruknya perilaku. Namun Buyung tidak goyah. Masih berdiri tegak. Sekali lagi, Buyung terbiasa dengan hal ini. Matanya sedikit memicing menepis sengatan matahari dan lelehan peluh yang bergerombol di dahinya, seakan hendak menderai deras ke arah matanya yang tajam dan memerah itu. Nampak pengemudi mobil hijau itu menjulurkan lehernya yang berbalut handuk murahan, keluar melalui jendela, lantas berteriak lantang dengan tangannya yang menunjuk angkasa. Seakan memberi petuah kepada para setan dan jin yang berjongkok di panasnya aspal yang mulai membaurkan uap minyaknya membentuk fatamorgana.

Buyung menengok dan memandang dengan senyum kecut ke arah bangunan yang berdiri besar di sana, sebuah pusat pertokoan. Tinggi, besar, angkuh, dengan beberapa dindingnya yang retak. Di kaki bangunan, beberapa angkutan kota membentuk deretan hijau seakan menjadi penopang dasar bangunan tersebut. Tidak terlalu jauh jaraknya dari Buyung berjalan tersaruk sekarang, namun Buyung tak hendak kesana. Tidak mungkin dengan kantong rongsokan yang selalu berada di pundaknya itu.

Sekali pernah Buyung ke sana, numpang sholat di mushola-nya yang berada di parkiran. Parkiran yang senantiasa hangat karena ratusan mesin mobil yang tetirah disini, mobil yang berlagak kecapekan setelah mengantar tuan-nyonya-nya. Parkiran itu senantiasa penuh oleh mobil yang seakan tertidur mendengkur, dengan mata menutup sebelah, dan pandangan sinis. Mirip anjing.

Ya. Mushola pertokoan acapkali selalu ter-marjinal-kan, tersingkir oleh gemebyar budaya kapitalis yang menjijikkan dengan lipstik dan parfum yang menor. Mushola terpuruk diantara semburan freon pertokoan yang menghunjam jantung, diantara aroma toilet yang kurang bersahabat, dengan karpet alakadarnya yang apek dan lengket basah seperti keset. Dimana orang menghadap Pencipta, disitulah kau harus berdiri dan bersujud. Namun, ketika kau memiliki lembar uang yang bisa kau jadikan permainan, maka nyala terang neon dalam ruang yang sejuk akan menyapa dan menghantarkanmu meraih kenikmatan dunia itu. Tak peduli ada gelandangan gila yang sekarat bertarik - ulur nyawa di pinggir trotoar di depan sana.

Sesekali kantong plastik yang menggelayut di pundak Buyung melorot. Dan Buyung dengan sigapnya menyesuaikan posisinya. Sebelah lengannya kotor sekali, beradu gesek dengan kantong yang berisi rongsokan. Kebanyakan adalah plastik sampah, yang hendak dia jual kembali. Buyung melakukan itu untuk membeli nasi bungkus. Selepas subuh, Buyung harus beranjak dari kolong dimana dia meringkuk. Mencangklong kantong kusam yang mungkin cukup untuk memuat dirinya, serta tongkat berkait yang dia hafal benar lekuknya seperti hafalnya seorang ninja terhadap samurai pendek miliknya. Lantas beranjak menyapa jalanan. Biasanya seperti itu. Dia memiliki banyak teman yang mengerjakan hal serupa. Di antara pengemis, pengamen sumbang, dan pencopet kecil, Buyung memilih menjadi pemulung. Atau lebih tepatnya kali ini dia menjadi pemulung. Entah suatu saat, bila pemimpin gerombolan mereka melarangnya menjadi pemulung, mungkin saja Buyung akan beralih profesi, entah menjadi pengamen, atau pencopet sekalian. Pemimpin itu tidak pernah bisa ditebak. Dia memberi perintah berdasarkan seseorang yang biasa datang bercelana jeans dengan rambutnya tersisir rapi, serta suka membagikan rokok kepada teman yang dia sayangi. Kadang datang saat pagi, kadang sore, atau tidak datang berhari - hari. Tidak menentu. Namun, ketika dia datang, para pemabuk yang sok kuasa itu biasanya segera meninggalkan botol bir kesayangannya, dan lantas mencium tangannya. Para sopir yang sedang membanting kartu segera menyisakan tempat yang nyaman buat duduk sekedarnya. Buyung tidak terlalu faham dengan pembicaraan mereka. Buyung biasanya menyingkir.

Diantara komunitas yang mencekam itu, Buyung merupakan salah seorang bocah yang bergerombol dengan rekan seumurnya, sekelompok anak – anak periang, walau kadang mereka berkelahi layaknya macan. Buyung adalah anak manusia yang hidup dalam dunia yang disisihkan oleh peradaban, yang selalu tercekik menjadi korban, yang tak pernah diperhatikan oleh orang bermulut besar yang selalu berebut kekuasaan, ngobrol membual dalam televisi – televisi. Buyung adalah satu dari jutaan boneka cilik yang bisa diinjak kapan saja.

Di antara pramuria yang mulai bersolek, diantara sopir yang terlena di warung, di antara pencopet yang membongkar dompet perolehan mereka, seringkali anak – anak itu bertemu, bermain, dan mengobrol. Dan ketika senja menjelang, beberapa anak yang badung mulai mabuk dengan cara menghirup uap lem, beberapa mulai berkhayal sambil terlentang beralas koran, sebagian lagi mulai bertukar puntung rokok yang masih bisa mereka hisap. Anak – anak yang masih bersuara cempreng itu berpesta, pesta ala mereka. Mereka terbiasa menghabiskan apa yang mereka dapatkan hari itu, dan memulai hari besok dengan tanpa apa – apa. Hari esok biarlah kita mulai esok, demikian semboyan mereka.

         Hampir setiap sore anak – anak jalanan itu berkumpul di tepi aspal, dalam selubung asap terminal, dalam atmosfir bau pasar, dalam tatapan angkuh dinding pertokoan. Tiada hari senin selasa rabu, tidak ada kalender di otak mereka. Hari itu berjalan dengan semaunya sendiri. Hari yang terus berjalan dan memaksa untuk berpacu. Mengantar untuk sebuah pilihan diantara hidup dengan berjuta ancaman atau terbujur kaku tanpa nyawa. Setiap hari adalah begitu. Dan itulah lakon anak – anak tadi. Menjalani siang yang menyengat dan malam yang mencekam. Anak – anak itu tidak sekolah seperti semestinya, tidak bermain seriang layaknya. Tetapi setidaknya mereka bersyukur, bahwa detik ini mereka masih hidup dan tidak gila. Dalam kewarasan itu mereka sadar, masa depan mereka telah remuk. Di pinggir trotoar, pengamen gondrong itu masih asik memutar – mutar pangkal senar gitarnya, tanpa pernah sempat menyelesaikan lagunya. [] -- cerpen ini dimuat di jurnal budaya RUANG MELATI, edisi Februari 2009